Kamis, 30 Mei 2013

UMKM DAN PERANANNYA



UMKM(USAHA MIKRO KECIL MENENGAH)
            Usaha Kecil didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah tangga maupun suatu badan bertujuan untuk memproduksi barang atau jasa untuk diperniagakan secara komersial dan mempunyai omzet penjualan sebesar 1 (satu) miliar rupiah atau kurang. Sementara Usaha Menengah didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah tangga maupun suatu badan bertujuan untuk memproduksi barang atau jasa untuk diperniagakan secara komersial dan mempunyai omzet penjualan lebih dari 1 (satu) miliar.
            Menurut Departemen Perindustrian (1993) UMKM didefinisikan sebagai perusahaan yang dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI), memiliki total asset tidak lebih dari Rp 600 juta (diluar area perumahan dan perkebunan). Sedangkan definisi yang digunakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) lebih mengarah pada skala usaha dan jumlah tenaga kerja yang diserap. Usaha kecil menggunakan kurang dari lima orang karyawan, sedangkan usaha skala menengah menyerap antara 5-19 tenaga kerja.
Ciri-ciri perusahaan kecil dan menengah di Indonesia, secara umum adalah:
1. Manajemen berdiri sendiri, dengan kata lain tidak ada pemisahan yang tegas antara pemilik dengan pengelola perusahaan. Pemilik adalah sekaligus pengelola dalamUKM.
2. Modal disediakan oleh seorang pemilik atau sekelompok kecil pemilik modal.
3. Daerah operasinya umumnya lokal, walaupun terdapat juga UKM yang memiliki orientasi luar negeri, berupa ekspor ke negara-negara mitra perdagangan.
4. Ukuran perusahaan, baik dari segi total aset, jumlah karyawan, dan sarana prasarana yang kecil.
            Pandangan umum bahwa UKM itu memiliki sifat dan jiwa entrepreneurship (kewiraswastaan) adalah kurang tepat. Ada sub kelompok UKM yang memiliki sifat entrepreneurship tetapi ada pula yang tidak menunjukkan sifat tersebut. Dengan menggunakan kriteria entrepreneurship maka kita dapat membagi UKM dalam empat bagian, yakni :
(1) Livelihood Activities
UKM yang masuk kategori ini pada umumnya bertujuan mencari kesempatan kerja untuk mencari nafkah. Para pelaku dikelompok ini tidak memiliki jiwa entrepreneurship. Kelompok ini disebut sebagai sektor informal. Di Indonesia jumlah UKM kategori ini adalah yang terbesar.
(2) Micro enterprise
 UKM ini lebih bersifat “artisan” (pengrajin) dan tidak bersifat entrepreneurship (kewiraswastaan). Jumlah UKM ini di Indonesia juga relatif besar.
(3) Small Dynamic Enterprises
UKM ini yang sering memiliki jiwa entrepreneurship. Banyak pengusaha skala menengah dan besar yang tadinya berasal dari kategori ini. Kalau dibina dengan baik maka sebagian dari UKM kategori ini akan masuk ke kategori empat. Jumlah kelompok UKM ini jauh lebih kecil dari jumlah UKM yang masuk kategori satu dan dua. Kelompok UKM ini sudah bisa menerima pekerjaan sub-kontrak dan ekspor.
(4) Fast Moving Enterprises
 Ini adalah UKM tulen yang memilki jiwa entrepreneurship yang sejati. Dari kelompok ini kemudian akan muncul usaha skala menengah dan besar. Kelompok ini jumlahnya juga lebih sedikit dari UKM kategori satu dan dua.

            Alasan-alasan UKM bisa bertahan dan cenderung meningkat jumlahnya pada masa krisis adalah :
1. Sebagian besar UKM memperoduksi barang konsumsi dan jasa-jasa dengan elastitas permintaan terhadap pendapatan yang rendah, maka tingkat pendapatan rata-rata masyarakat tidak banyak berpengaruh terhadap permintaan barang yang dihasilkan. Sebaliknya kenaikan tingkat pendapatan juga tidak berpengaruh pada permintaan.
2. Sebagian besar UKM tidak mendapat modal dari bank. Implikasinya keterpurukan sektor perbankan dan naiknya suku bunga, tidak banyak mempengaruhi sektor ini. Berbeda dengan sektor perbankan bermasalah, maka UKM ikut terganggu kegiatan usahanya. Sedangkan usaha berkala besar dapat bertahan. Di Indonesia, UKM mempergunakan modal sendiri dari tabungan dan aksesnya terhadap perbankan sangat rendah.
3. UKM mempunyai modal yang terbatas dan pasar yang bersaing, dampaknya UKM mempunyai spesialisasi produksi yang ketat. Hal ini memungkinkan UKM mudah untuk pindah dari usaha yang satu ke usaha lain, hambatan keluar-masuk tidak ada.
4. Reformasi menghapuskan hambatan-hambatan di pasar, proteksi industri hulu dihilangkan, UKM mempunyai pilihan lebih banyak dalam pengadaan bahan baku. Akibatnya biaya produksi turun dan efisiensi meningkat. Tetapi karena bersamaan dengan terjadinya krisis ekonomi, maka pengaruhnya tidak terlalu besar.
5. Dengan adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan sektor formal banyak memberhentikan pekerja-pekerjanya. Para penganggur tersebut memasuki sektor informal, melakukan kegiatan usaha yang umumnya berskala kecil, akibatnya jumlah UKM meningkat.

            UMKM juga memilikibeberapa peranan yakni:
1.PERANAN UKM DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA
            Peranan UMKM terlihat cukup jelas pasca krisis ekonomi, yang dapat dilihat dari besaran pertambahan nilai PDB, pada periode 1998 – 2002 yang relative netral dari intervensi pemerintah dalam pengembangan sector sector perekonmian karena kemampuan pemerintah yang relative terbatas, sector yang menunjukkan pertambahan PDB terbesar berasal dari industry kecil, kemudian diikuti industry menengah dan besar. Hal ini mengindikasikan bahwa UKM mampu dan berpotensi untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi pada masa akan dating.
            Dari aspek penyerapan tenaga kerja, sector pertanian secara absolute memiliki kontribusi lebih besar dari pada sector pertambangan, sector industry pengolahan dan sector industry jasa. Arah perkembangan ekonomi seperti ini akan menimbulkan kesenjangan pendapatan pendapatan yang semakin mendalam antara sector yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dan menyerap tenaga kerja lebih sedikit.
2.PERAN UMKM DALAM PENCIPTAAN DEVISA NEGARA
            UKM juga berkontribusi terhadap penerimaan ekspor, walaupun kontribusi UKM jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kontribusi usaha besar. pada tahun 2005 nilai ekspor usaha kecil mencapai 27.700 milyar dan menciptakan peranan sebesar 4,86 persen terhadap total ekspor. Padahal pada tahun 2002 nilai ekspor skala usaha yang sama sebesar 20.496 milyar dan menciptakan peranan sebesar 5,13% terhadap total ekspor.  Artinya terjadi peningkatan pada nilai walaupun peranan ekspor pada UK sedikit mengalami penurun. Untuk UM, nilai ekspor UM juga meningkat dari 66,821 milyar di tahu 2002 (16,74%) naik menjadi 81.429 milyar dengan peranan yang mengalami penurunan yang mengalami penurunan yaitu sebesar 14,30% ditahun 2005.
            Berdasarkan distribusi pendapatan ekspor menurut skala usaha, maka periode 2003 – 2005 sektor pengerak ekspor terbesar secara total adalah industry pengolahan, dan penyumbang ekspor terkecil adalah sector pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan. Khusus pada UK, penymbang terbesar ekspor ekspor nonmigas adalah sector industry pengolahan yang diikuti oleh sector pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan dan terakhir adalah sector pertambangan dan penggalian. Sedangkan untuk UM sumbangan terbesar terhadap ekspor adalah sector industry pengolahan.
3.PERANAN UMKM DALAM PEMBENTUKAN INVESTASI NASIONAL
            Selain yang disebutkan diatas, UMKM juga berperan dalam pembentukan investasi nasional. Investasi atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB) merupakan salah satu komponen penting dalam pembangunan ekonomi, mengingat pengeluaran untuk investasi tidak hanya meningkatkan permintaan agregat, tetapi juga meningkatkan penawaran agregat melalui pengaruhnya terhadap kapasitas produksi yang pada akhirnya mendorong produktivitas usaha yang meningkat pula.
            Dengan demikian Usaha Kecil dan Menengah disingkat UKM merupakan sebuah istilah yang mengacuke jenis usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Dan usaha yang berdiri sendiri.Menurut Keputusan Presiden RI no. 99 tahun 1998 pengertian Usaha Kecil adalah:³Kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secaramayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah daripersaingan usaha yang tidak sehat.´Pertumbuhan UKM di Indonesia membawa dampak baik bagi perkembanganekonomi. Satu hal yang patut menjadi perhatian adalah rasio kredit bermasalah aliasnon performing loan (NPL). Selain itu, UKM juga mampu meningkatkan jumlahpendapatan Negara. Selain bermanfaat bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia,tanpa disadari UKM juga telah mampu mengurangi angka pengangguran dimasyarakat, sekaligus juga meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat.
            Pengembangan UKM di Indonesia mengalami beberapa hambatan dalamoperasionalnya. Pengetahuan para produsen atau pemilik UKM di Indonesiamengenai teknologi masih jauh dari cukup. Kebenyakan produsen di Indonesia masihmenggunakan peralatan yang sifatnya masih tradisional. Sehingga biaya produksimalah menjadi lebih tinggi dibandingkan jika paraprodusen menggunakan mesin-mesin modern. Selain itu Indonesia juga dihadapkan pada kualiatas SDM yang masih jauh dari standar yang ada.kendala yang banyak dialami adalah factor dana. Banyakcalon pengusaha yang mengeluhkan mengenai keterbatasn dana.Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut ada beberapa solusi yang dapatdilakukan, yaitu dengan memberikan pembekalan serta penyuluhan untuk mengatasimasalah SDM, sehingga kualitas SDM yang dapat meningkat. Sedangkan untuk mengatasi masalah kekurangan dana pemerintah telah mengeluarkan program bagicalon pemilik UMKM yang mengalami kesulitan dalam maslahpembiayaan.pemerintah memberikan bantuan berupa kredit usaha rakyat (KUR) yangdisalurkan oleh beberapa Bank di Indonesia yang telah ditunjuk oleh pemerintah.Oleh karena itu, pemerintah harus selalu memerhatikan keadaan UMKM di Indonesia.Supaya kelangsungan perekonomian selalu terjaga, serta mengurangi angkakemiskinan dan pengangguran yang ada.

SEJARAH AL-QUR'AN DAN METODOLOGI AL-QUR'AN

SEJARAH AL-QUR'AN DAN METODOLOGI AL-QUR'AN


BAB I
PENDAHULUAN

Dari segi bahasa, perkataan ‘Nuzul’ bererti menetap di satu tempat atau turun dari tempat yang tinggi. Kata perbuatannya ‘nazala’ (نزل) membawa maksud ‘dia telah turun’ atau ‘dia menjadi tetamu’. Sebenarnya penggunaan istilah Nuzul al-Quran ini secara majaz atau (simbolik) sahaja yang bermaksud pemberitahuan al-Quran. Tujuannya untuk menunjukkan ketinggian al-Quran.
Secara teknikalnya Nuzul al-Quran bererti penurunan al-Quran dari langit kepada Nabi Allah yang terakhir. Perkataan Nuzul dalam pelbagai wajah sama Ada kata nama, kata perbuatan atau lainnya digunakan dalam al-Quran sebanyak lebih kurang 290 kali. Sebagai contoh, “Dia yang telah…..menurunkan hujan.” (al-Baqarah:22), “Dialah….yang menurunkan Taurat Dan Injil.” (Ali Imran:3) Dan banyak lagi ayat-ayat lain.
            Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang memiliki kedudukan tersendiri di hati setiap Muslim. Ia merupakan kalamullah dan sebagai sumber hukum pertama bagi umat Islam.
Sebagai sebuah kitab suci yang memiliki keistimewaan, tentu patutlah bagi seorang Muslim untuk memuliakan dan menghormatinya, termasuk dalam sikap kita ketika ingin membacanya.

B.        Indentifikasi Masalah
SEJARAH AL-QUR’AN
Ø  Tata cara al-qur’an di turunkan
Ø  Masa turunya al-qur’an
Ø  Masa penulisan al-qur’an
Ø  Pemeliharaan al-qur’an
METODOLOGI TAFSIR AL-QUR’AN
Ø  Metode tafsir Al-qur’an
Ø  Perkembangan tafsir dari masa ke masa


C.        Maksud dan tujuan
Ø  Agar para pembaca bisa memahami dan mengerti tentang sejarah Al-qur’an dan metodologi tafsir al-qur’an.
Ø  Agar semata-mata Al-qur’an di jadikan pedoman hidup



BAB II
Pembahasan

Sejarah al-qur’an

A.    Tata cara al-qur’an di turunkan
            ‘Aishah isteri Rasulullah SAW, meriwayatkan sebelum Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul, beliau bermimpi perkara yang benar lalu beliau menyendiri di gua Hira’ beribadah kepada Allah SWT untuk selama beberapa tahun. Di gua berkenaanlah baginda menerima wahyu yang pertama.
Harith bin Hisham, seorang sahabat Rasulullah s.a.w. pernah bertanya kepada Baginda bagaimana wahyu diturunkan kepadanya. Rasulullah menjawab : ”Kadang-kadang wahyu datang kepada-ku dengan gema (desingan) loceng dan ini amat berat bagi-ku, dan sementara bunyi itu hilang aku mengingati apa yang disampaikan kepada-ku. Kadang ia datang dalam bentuk jelmaan malaikat kepada-ku merupai lelaki, bercakap dengan-ku dan aku menerima apa saja yang disampaikannya kepada-ku.
Peringkat penurunan Al-Quran
Para ulama menyatakan penurunan al-Quran berlaku dalam dua bentuk iaitu secara sekaligus, dan berperingkat. Walau bagaimanapun mereka berselisih pendapat tentang berapa kali berlakunya penurunan al-Quran secara sekaligus. Terdapat tiga pandangan mengenai hal ini, iaitu :
  • Penurunan al-Quran dari Allah SWT ke al-Lauh al-Mahfuz;
  • Kali kedua, dari al-Lauh al-Mahfuz ke Bait al-‘Izzah di langit dunia; dan
  • Kali ketiga, penurunan kepada Jibril a.s. dalam tempoh 20 malam.
Al-Suyuti dalam kitabnya ‘al-Itqan if Ulum al-Quran’ berdasarkan tiga riwayat oleh Ibn ‘Abbas, Hakim Dan al-Nasa’i, hanya membahagikan kepada dua peringkat sahaja iaitu dari al-Lauh Mahfuz ke Bait al-‘Izzah Dan dari Bait al-‘Izzah kepada Rasulullah s.a.w. Melalui Jibril a.s.

1. Dari Allah SWT ke al-Lauh al-Mahfuz.
Penurunan ini berlaku sekaligus dengan tujuan untuk membuktikan ketinggian dan kekuasaan Allah SWT. Para Malaikat menyaksikan bahawa segala perkara yang ditentukan oleh Allah SWT di Luh Mahfuz ini benar-benar berlaku. Pendapat ini disandarkan kepada ayat 21 Dan 22 surah al-Buruj yang berbunyi,
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مجيد فِي لَوْحٍ مَحْفُوظ . “(Sebenarnya apa yang engkau sampaikan kepada mereka bukanlah syair atau sihir), bahkan ialah Al-Quran yang tertinggi kemuliaannya; (Lagi yang terpelihara dengan sebaik-baiknya) pada Luh Mahfuz.” (al-Buruj:21-22)
2. Dari al-Lauh al-Mahfuz ke Bait al-’Izzah di langit dunia.
Penurunan kali kedua secara sekaligus dari al-Lauh al-Mahfuz ke Bait al-’Izzah di langit dunia dipercayai berlaku berpandukan kepada tiga (3) ayat al-Quran sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas; Allah SWT berfirman,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ “(Masa yang diwajibkan kamu berpuasa itu ialah) bulan Ramadan yang padanya diturunkan Al-Quran, menjadi petunjuk bagi sekalian manusia Dan menjadi keterangan-keterangan yang menjelaskan petunjuk Dan (menjelaskan) perbezaan antara yang benar dengan yang salah. Oleh itu, sesiapa dari antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadan (atau mengetahuinya), maka hendaklah dia berpuasa bulan itu Dan sesiapa yang sakit atau dalam musafir maka (bolehlah dia berbuka, kemudian wajiblah dia berpuasa) sebanyak Hari yang ditinggalkan itu pada hari-Hari yang lain. (Dengan ketetapan yang demikian itu) Allah menghendaki kamu beroleh kemudahan dan Dia tidak menghendaki kamu menanggung kesukaran dan juga supaya kamu cukupkan bilangan puasa (sebulan Ramadan) dan supaya kamu membesarkan Allah kerana mendapat petunjuk-Nya dan supaya kamu bersyukur.” (al-Baqarah:185) Firman Allah SWT,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Quran itu pada malam yang berkat; (Kami berbuat demikian) kerana sesungguhnya Kami sentiasa memberi peringatan dan amaran (jangan hamba-hamba Kami ditimpa azab).” (ad-Dukhan:3) Firman Allah SWT,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ “Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Al-Quran) ini pada Malam Lailatul-Qadar.” (al-Qadr:1) Ibn ‘Abbas juga menyatakan mengikut apa yang diriwayatkan oleh Said b. Jubayr: “Al-Quran diturunkan sekaligus pada malam yang penuh berkat.” Ikrimah pula meriwayatkan ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata: “Al-Quran diasingkan daripada al-Dhikr ‘الذكر’ dan ditempatkan di Bait al-‘Izzah di langit dunia.
Ibn Marduwayh dan al-Baihaqi mencatatkan perbualan antara ‘Atiyyah bin al-Aswad dan ‘Abdullah bin ‘Abbas yang mana ‘Atiyyah agak keliru mengenai penurunan ayat-ayat ini, “Pada bulan Ramadhan al-Quran diturunkan”, dan “Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Al-Quran) ini pada Malam Lailatul-Qadar”, ia juga diturunkan pada bulan Syawwal, Dhu al-Qaedah, Dhu al-Hijjah, al-Muharram, Safar dan Rabi’ al-Awwal.” Kemudian Ibn ‘Abbas menjelaskan: “Al-Quran diturunkan pada malam Lailatul-Qadar sekaligus kemudiannya untuk diwahyukan kepada Rasulullah s.a.w. secara beransur-ansur selama beberapa bulan dan hari.”
3. Dari Bait al-’Izzah kepada Rasulullah S.A.W. (dalam masa 20 malam).
Penurunan di peringkat ini telah berlaku secara beransur-ansur. Al-Quran mula diturunkan kepada Rasulullah s.a.w. sejak baginda dilantik menjadi Rasulullah S.A.W, dan selesai apabila baginda hampir wafat, iaitu dalam tempoh dua puluh tiga tahun. Tiga belas tahun di Makkah dan sepuluh tahun di Madinah al-Munawwarah. Mengikut pendapat ini, Jibril A.S.(Angel Gabriel) diberi Malam Lailatul-Qadar setiap tahun, dari mula turun wahyu hingga ke akhirnya sepanjang tempoh kenabian, sebahagian daripada al-Quran disimpan di Bait al-‘Izzah yang mencukupi baginya untuk disampaikan kepada Rasulullah s.a.w. dalam masa 20 malam. Pandangan ini dipegang kuat oleh al-Mawardi.





B.Masa turunya al-qur’an
Masa diturunkannya Al Qur’an dihitung dari lama tinggalnya Rasul SAW, karena beliau hidup di dua tempat berbeda maka masa penurunan Al Qur’anpun dalam 2 waktu berbeda, yaitu :
Fase ini dihitung dari lamanya Rasulullah tinggal dan mukim di Makkah, dalam hitungan M. Khudori Bek dalam Tarikh Tasyri’ Rasulullah tinggal di Mekkah selama 12 tahun 5 bulan 13 hari di mulai sejak 17 Ramadhan tahun 41 setelah kelahirannya/ 6 Agustus 610 M sampai dengan Rabi’ul Awwal tahun 53 kelahirannya. Ayat-ayat yang diturunkan di sana berjumlah 86 surat (4.726 ayat) 75,5 % dari keseluruhan Al-Qur’an dan dinamakan dengan ayat-ayat Makkiyah.
Fase ini dihitung sejak Nabi Hijrah ke Yatsrib (Madinah) yaitu bulan Rabi’ul Awwal tahun 53 kelahirannya sampai dengan 9 Dzul hijjah 10 H/ 7 Maret 632 M. dengan demikian beliau tinggal di Madinah selama 9 tahun 9 bulan 9 hari. Ayat-ayat yang diturunkan disana berjumlah 28 surat (1.510 ayat) atau 24,5 % dari keseluruhan Al-Qur’an  dan dinamakan dengan ayat-ayat Madaniyyah.

B.     Masa penulisan al-qur’an & pembukuan al-qur’an
Pembukuan tafsir berawal pada akhir masa pemerintahan bani Umayyah dan pada awal pemerintahan bani Abbasiyah. Pada masa ini hadist mendapatkan perhatian yang sangat besar dan kajian tafsir menjadi salah satu cabang pembahasan dalam hadits.
Dengan adanya semangat yang besar dalam mengumpulkan hadits, para ulama pada masa ini tertarik untuk mengumpulkan tafsiran-tafsiran yang disandarkan kepada Nabi SAW, sahabat dan tabiin. Tokoh-tokoh yang berperan besar pada masa ini adalah: Yazid bin Harun as Sulami (wafat pada tahun 117 Hijriyah), Syu’bah bin al Hajjaj (wafat pada tahun 160 H.), Waqi’ bin al Jarrah (wafat pada tahun 197 H.), dan lain-lain. Hanya saja tidak ada satupun penafsiran mereka yang sampai kepada kita sebagai satu kitab, kita hanya bisa menjumpai penafsiran mereka dalam kitab-kitab tafsir bil ma’tsur.
Kemudian muncul setelah mereka tokoh-tokoh yang menjadikan tafsir sebagai kajian yang independen, bukan lagi menjadi bagian dari bahasan hadits, diantara mereka adalah: Ibnu Majah (wafat tahun 273 H.), Ibnu Jarir at Thabari (wafat pada 310 H.), Ibnu Abi Hatim (wafat pada 327 H.), Abu Bakar bin Mundzir an Naisaburi (wafat pada 318 H.), Abu Syaikh bin Hibban (wafat pada 369 H.), Al Hakim (wafat tahun 405 H.), dan Abu Bakar bin Murdawaih (wafat pada 410 H.).
Pada kurun waktu selanjutnya, muncullah beberapa mufassir yang tidak lagi berpegang pada tafsir bil ma’tsur, mereka hanya meringkas pada sanad-sanad dan mereka memasukkan pendapat-pendapat yang muncul tanpa mencantumkan siapa yang mengeluarkan pendapat tersebut. Sehingga pada masa ini mulai muncul penafsiran-penafsiran yang berbau kesukuan, pembelaan terhadap madzhab dan para mufassir cenderung berpegang pada pemahaman individual dalam rangka menafsiri Al quran.tiap pakar disiplin ilmu saling memunculkan disiplin ilmu mereka dalam tafsir yang mereka susun, seperti Ibnu Arabi sebagai tokoh tasawwuf yang makna-makna isyarah dalam tafsirnya, Al Tsa’labi dan Alkhazin yang memunculkan kisah-kisah karena mereka adalah sejarawan, Al Jasshas dan Al Qurthubi yang menjelaskan tentang masalah-masalah furu’ disebabkan mereka adalah ulama fiqh.
Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. melalui beberapa cara iaitu:
  • Jibril memasukkan ke dalam hati Baginda dalam keadaan Baginda tidak melihat apa-apa, hanya Baginda berasa bahawa wahyu itu berada dalam hatinya.
  • Malaikat memperlihatkan dirinya sebagai seorang lelaki dengan mengucapkan ayat kepada Baginda sehingga Baginda benar-benar dapat menghafaz ayat yang diturunkan itu.
  • Wahyu datang kepadanya berserta bunyi loceng. Ini adalah cara yang paling berat dihadapi oleh Baginda sehingga keadaan baginda sangat panas walaupun ketika itu cuaca sangat sejuk.
  • Jibril memperlihatkan dirinya yang sebenar sepertimana yang dialami oleh Baginda sewaktu turunnya ayat surah al-Muzammil.

Sejarah penurunan al-Quran pula terbahagi kepada tiga peringkat iaitu:
  • Allah menurunkan al-Quran ke Luh Mahfuz secara sekali gus bukannya secara beransur-ansur. Firman Allah dalam surah al-Buruj ayat 21 - 22 yang bermaksud: “Bahkan apa yang didustakan mereka itu ialah al-Quran yang mulia, yang tersimpan dalam Luh Mahfuz.”
  • Dari Luh Mahfuz ke Baitul Izzah di langit dunia juga diturunkan sekali gus. Firman Allah SWT dalam surah ad-Dukhan ayat 3 maksudnya:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran di malam yang penuh keberkatan.”
Firman-Nya lagi dalam surah al-Qadar ayat 1 yang bermaksud:
“Sesungguhnya Kami menurunkan al-Quran pada malam al-Qadr.”
Firman-Nya lagi dalam surah al-Baqarah ayat 185 maksudnya:
“Bulan Ramadan yang diturunkan padanya al-Quran.”
  • Turun dari langit dunia kepada Nabi saw melalui perantaraan Jibril bermula tanggal 17 Ramadan .
Firman Allah dalam surah as-Syura ayat 192-195 maksudnya:
“Dan sesungguhnya al-Quran itu benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dibawa turun oleh Ar-Ruhul Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad saw) supaya kamu menjadi salah seorang di antara orang yang memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas.”
Setiap ayat yang dibawa oleh Jibril dihafaz oleh Nabi SAW kemudian baru dibacakan kepada sahabat. Nabi saw menghafaznya betul-betul bimbang jika tertinggal perkataan tertentu atau huruf tertentu.
Baginda mengulangi bacaan ketika Qiamullail(bangun malam) dan solat. Setiap tahun sekali Nabi SAW ditasmi (mendengar dan membetulkan) bacaannya oleh Jibril(Angel Gabriel) dalam bulan Ramadan secara bertadarus.


Pada akhir hayat Baginda, Jibril mentasminya sebanyak dua kali.
Sahabat berusaha dan bersungguh-sungguh menghafaz dan mempelajari serta memahaminya dengan menjauhi kenikmatan tidur dan rehat. Sebagaimana Rasulullah saw, sahabat turut memanfaatkan masa malam mereka untuk memantapkan hafalan mereka.
Di antara huffaz(penghafaz/ penghafal Al-Quran) terkenal daripada sahabat iaitu empat orang Khulafa Ar-Rasyidin (Abu Bakar al-Siddiq, Umar al-Khattab, Uthman al-Affan dan Ali bin Abi Talib), Talhah, Ibnu Mas’ud, Huzaifah, Abu Hurairah, Ibnu Omar, Ibnu Abbas, (Ai’syah dan Hafsah){isteri Rasullullah).
Termasuk daripada orang-orang Ansar(penduduk asal Kota Madinah) seperti Ubai bin Ka’ab, Muaz bin Jabal, Zaid bin Thabit, Abu Darda’ dan Anas bin Malik.
Pada masa sama, Nabi SAW melantik beberapa sahabat sebagai penulis wahyu.
Mereka menulisnya sebagai salah satu teori pembelajaran berkesan setiap kali wahyu turun sebagai tambahan dalam hafalan supaya tidak hilang begitu saja.
Di antara penulis itu ialah empat Khulafa’ Ar-Rasyidin, Muawiyah bin Abu Sufian, Khalid bin al-Walid, Ubai bin Kaab dan Zaid bin Thabit.
Penulisan pada waktu itu hanya dibuat diatas kulit kayu,batuan,kulit haiwan dan kain-kain sahaja berikutan kertas belum diketemukan.
Pada masa itu iaitu sewaktu Rasulullah SAW masih hidup, ayat al-Quran tidak dihimpunkan dalam satu mashaf(teks lengkap yang berbuku).
Ini disebabkan kepada beberapa faktor iaitu:
  • Tidak ada faktor yang membolehkan untuk dikumpul satu mashaf daripada kemudahan penulisan, sedangkan sewaktu itu ada ramai huffaz(penghafal Al-Quran) dan qurra’(pembaca Al-Quran).
  • Ada di antara ayat yang diturunkan itu nasikh dan mansukh(hukum atau ayat yang bertukar disebabkan perkara tertentu).
  • Ayat al-Quran tidak diturunkan sekali gus, tetapi beransur-ansur.
  • Setiap ayat yang turun adalah atas satu-satu faktor, sebab dan peristiwa.
Pada zaman Saidina Abu Bakar menjadi khalifah ramai huffaz mati dalam peperangan Yamamah iaitu hampir 70 orang. Lalu Saidina Umar mencadangkan kepada Saidina Abu Bakar supaya dihimpunkan helaian ayat-ayat Al-Quran yang ditulis berasingan sebelumnya kerana bimbang akan kehilangannya dengan sebab kematian huffaz dan qurra’.
Pada mulanya beliau ragu-ragu kerana Nabi SAW tidak pernah melakukannya dan takut seandainya berlaku perubahan ayat atau pertukaran ayat al-Quran. Selepas dibincang dengan teliti, atas alasan maslahah dan menyedari bahawa ia adalah satu wasilah yang paling agung untuk memudahkan menghafaznya serta mengelakkan daripada hilang dan luput, maka Saidina Abu Bakar bersetuju untuk dikumpulkan ayat al-Quran itu.
Maka dipanggil beberapa huffaz dan penulis wahyu zaman Nabi saw yang masih hidup antaranya Zaid bin Thabit bagi meneruskan usaha penulisan al-Quran. Al-Quran kemudian ditulis oleh Zaid hasil pengumpulan daripada lembaran yang ada dan akhirnya diikat kemas, tersusun turutan ayatnya sebagaimana yang ditetapkan oleh Rasulallah SAW.
Mashaf ini diserahkan kemudiannya kepada Saidina Abu Bakar. Selepas kewafatannya, diserahkan pula kepada Saidina Umar al-Khattab. Selepas beliau wafat, mashaf itu dipindahkan ke rumah Hafsah, isteri Rasulullah SAW yang juga anak Saidina Umar sehingga ke saat pengumpulan dan penyusunan Al-Quran pada zaman Khalifah Uthman.
Apabila berlaku pertentangan dari sudut bacaan ayat Al-Quran (disebabkan kemunculan ilmu Qiraat yang telah diizinkan Nabi Muhammad sebelumnya), ia akhirnya memaksa kepada tindakan Khalifah Uthman untuk membukukan Al-Quran. Maka dibentuk satu jawatankuasa penyelaras dalam usaha membukukannya.
Pada peringkat awal,jawatan kuasa penyelaras Al-Quran itu telah membukukan sebanyak 6 buah naskah Al-Quran iaitu untuk dipegang oleh Khalifah Uthman bin Affan sendiri,naskah dihantar ke Kota Basrah,naskah kepada kota Kufah dan kota Syam serta sebuah naskah ke kota Madinah Al-Munawwarah dan sebuah lagi ke kota Makkah Al-Mukarramah.Manakala,kemudiannya diciptakan 2 buah naskah khas yang disalin terus dari naskhah Khalifah Saidina Uthman bin Affan untuk pegangan Sheikh Umar Dany dan Sheikh Abu Daud Sulaiman bin Najah.Dua salinan baharu itu hanya digunakan tatkala timbulnya perselisihan berkenaan teks salinan sebenar Kitab suci Al-Quran, serta membetuli akan keraguan dalam mashaf Al-Quran enam buah seperti yang dinyatakan diatas, akibat timbul dari perbezaan sebutan dan periwayatan imam-imam Qiraat.
Mashaf Uthmani yang asli yang dipegang oleh Khalifah Uthman sendiri serta 2 buah kitab yang disalin darinya sebenarnya ditulis dan disalin mengikut ejaan dan sebutan Arab Quraisy yang tepat mengikut bacaan Nabi Muhammad selaku seorang yang berbangsa Arab Quraisy.Ini dapat dibuktikan dengan penulisan dan pembarisan ayat-ayat Al-Quran mashaf Uthmani itu sendiri yang diriwayatkan oleh Hafs bin Sulaiman ibn Mughairah Al-Asadi Al-Kufi menurut bacaan Asim bin Abi Najud Al-Kufi At-Taabie daripada Abi AbdilRahman Abdillah bin Habibi Sulami daripada Uthman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Sabith dan Ubai bin Kaab dan akhirnya daripada Muhammad bin Abdullah(Nabi SAW).
Manakala cara membarisnya pula adalah diambil daripada apa yang telah diakui kesahihannya oleh para Ulama seperti yang dibandingkan dalam Kitab “At-Tarazu Ala Dhabtil Kharazi” karangan Imam At-Tanassi dengan mengambil tanda-tanda Al-Khalil bin Ahmad dan Para pengikut daripada kalangan(Masyariqah) Masyarakat Al-Quran,gantian daripada tanda-tanda yang disepakati oleh orang Andalusia(di Spanyol) dan orang-orang Maghribi. Akhirnya terhasillah apa yang dinamakan Mashaf Uthmani hasil penggemblengan tenaga oleh Zaid bin Thabit sebagai ketua, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash dan Abdul Rahman bin Harith bin Hisyam. Akhirnya mashaf Uthmani itu bertebaran ke seluruh dunia yang menjadi panduan umat Islam yang paling utama hingga hari ini.

D. Pemeliharaan al-qur’an
Pada permulaan Islam bangsa Arab adalah satu bangsa yang buta huruf, amat sedikit di antara mereka yang pandai menulis dan membaca. Bangsa Arab masih belum mengenal kertas seperti yang sekarang ini, jadi bagi mereka yang dapat menulis dan membaca, biasanya menuliskannya pada benda apa saja yang bisa di tulisi.
            

Masa Nabi Muhammad s.a.w

Walaupun bangsa Arab pada waktu itu masih buta huruf, tapi mereka mempunyai ingatan yang sangat kuat. Pegangan mereka dalam memelihara dan meriwayatkan syair-syair dari para pujangga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dan lain sebagainya adalah dengan hafalan semata.
Karena hal inilah Nabi mengambil suatu cara praktis yang selaras dengan keadaan itu dalam menyiarkan dan memelihara Al-Qur'anul Karim.
Setiap ayat yang diturunkan, Nabi menyuruh menghafalnya, dan menuliskannya di batu, kulit binatang, pelapah kurma, dan apa saja yang bisa dituliskan. Nabi menerangkan tertib urut ayat-ayat itu. Nabi mengadakan peraturan, yaitu Al-Qur'an saja yang boleh dituliskan, selain dari Al-Qur'an, Hadits atau pelajaran-pelajaran yang mereka dengar dari mulut Nabi dilarang untuk dituliskan. Larangan ini dengan maksud agar Al-Qur'an itu terpelihara, jangan dicampur aduk dengan yang lain-lain yang juga didengar dari Nabi.
Nabi menganjurkan agar Al-Qur'an dihafal, selalu dibaca, dan diwajibkannya untuk dibaca ketika sedang melakukan Shalat. Dengan cara demikian, banyaklah orang yang hafal Al-Qur'an. Surat yang satu macam, dihafal oleh ribuan manusia, dan banyak yang hafal seluruh Al-Qur'an. Selain itu, tidak ada satu ayatpun yang tidak dituliskan. Kepandaian menulis dan membaca itu amat dihargai dan Nabi sangat gembira, beliau berkata:
"Di Akhirat nanti tinta ulama-ulama itu akan ditimbang dengan darah syuhada" 
Pada perang Badar, orang-orang musyirin yang ditawan oleh Nabi dan tidak dapat menebus dirinya dengan uang, tetapi pandai menulis dan membaca, masing-masing diharuskan mengajar sepuluh orang muslim untuk menulis dan membaca sebagai ganti tebusan. 
Karena itulah, bertambahlah keinginan untuk belajar menulis dan membaca, dan bertambah banyaklah mereka yang pandai menulis dan membaca, dan mulai banyaklah yang menuliskan ayat-ayat yang diturunkan. Nabi sendiri mempunyai beberapa juru tulis yang bertugas menuliskan Al-Quran untuk beliau. Diantaranya Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit dan Mu'awiyah.
Dengan demikian terdapat 3 unsur yang dapat memelihara Al-Qur'an yang telah diturunkan, yaitu:
  1. Hafalan dari mereka yang hafal Al-Qur'an.
  2. Naskah-naskah yang ditulis oleh Nabi
  3. Naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing.
Selain itu, sekali dalam setahun, Jibril mengadakan ulangan (repetisi). Pada waktu itu Nabi diperintah untuk mengulang memperdengarkan Al-Qur'an yang telah diturunkan. Di tahun beliau wafat, ulangan tersebut oleh Jibril sebanyak dua kali. Nabi sendiripun sering mengadakan ulangan terhadap sahabat-sahabatnya di depan muka beliau untuk menetapkan atau membetulkan hafalan atau bacaan mereka.
Ketika Nabi wafat, Al-Qur'an tersebut telah sempurna diturunkan dan telah dihafal oleh ribuan manusia, dan telah dituliskan semua ayat-ayatnya. Semua ayatnya telah disusun dengan tertib menurut urutan yang ditujikan sendiri oleh Nabi. Mereka telah mendengan Al-Qur'an itu dari mulut Nabi sendiri berkali-kali dalam Shalat, khutbah, dan pelajaran-pelajaran lainnya. Pendek kata Al-Qur'an tersebut telah terjaga dengan baik, dan Nabi telah menjalani satu cara yang sangat praktis untuk memelihara dan menyiarkan Al-Quran itu sesuai dengan keadaan bangsa Arab di waktu itu.
Suatu hal yang menarik perhatian, ialah Nabi baru wafat dikala Al-Qur'an itu telah cukup diturunkan, dan Al-Qur'an itu sempurna diturunkan di waktu Nabi telah mendekati masanya untuk kembali ke hadirat Allah S.W.T. Hal ini bukan suatu kebetulan saja, tapi telah diatur oleh yang maha esa.

Masa Abu Bakar r.a

Setelah Rasulullah wafat, sahabat baik Anshar maupun Muhajirin sepakat mengangkat Abu Bakar menjadi Khalifah. Pada awal masa pemerintahannya banyak orang-orang Islam yang belum kuat imannya. Terutama di Nejed dan Yaman, banyak yang menjadi murtad, menolak membayar zakat, dan ada pula yang mengaku dirinya sebagai nabi. Hal ini dihadapi oleh Abu Bakar dengan tegas, sehingga ia berkata pada orang-orang tersebut "Demi Allah! Kalau mereka menolak untuk memnyerahkan seekor anak kambing sebagai zakat (seperti apa) yang pernah mereka serahkan kepada Rasulullah, niscaya aku akan memerangi mereka". Maka terjadilah peperangan yang hebat untuk menumpas orang-orang murtad dan pengikut nabi palsu tersebut. Diantara peperangan itu yang terkenal adalah peperangan Yamamah. Tentara Islam yang ikut banyak dari para sahabat yang menghafal Al-Qur'an. Dalam peperangan ini telah gugur 70 orang penghafal Al-Qur'an. Bahkan sebelumnya telah pula gugur hampir sebanyak itu penghafal Al-Qur'an lainnya.

Oleh karena itu Umar bin Khathab khawatir akan gugurnya para sahabat penghafal Al-Qur'an yang masih hidup, maka ia datang kepada Abu Bakar memusyawaratkan hal tersebut. Umar berkata kepada Abu Bakar: "Dalam peperangan Yamamah para sahabat yang hafal Al-Qur'an telah banyak yang gugur. Saya khawatir akan gugurnya para sahabat yang lain dalam peperangan selanjutnya. Sehingga banyak ayat-ayat Al-Qur'an itu perlu dikumpulkan". Lalu Abu Bakar menjawab: "Mengapa aku akan melakukan sesuatu yang tidak diperbuat oleh Rasulullah?". Umar menegaskan: "Demi Allah! Ini adalah perbuatan yang baik". Dan ia berulang kali memberikan alasan-alasan kebaikannya tersebut, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima pendapat Umar tersebut.
Kemudian Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan berkata kepadanya: "Umar mengajakku mengumpulkan Al-Qur'an". Lalu diceritakannya segala pembicaraan yang terjadi antara dia dan Umar. Kemudian Abu Bakar berkata: "Engkau adalah seorang pemuda yang cerdas yang kupercayai sepenuhnya. Dan engkau adalah seorang penulis wahyu yang selalu disuruh oleh Rasulullah. Oleh karena itu maka kumpulkanlah ayat-ayat Al-Qur'an itu", Zaid menjawab "Demi Allah! Ini adalah pekerjaan yang berat bagiku. Seandainya aku diperintahkan untuk memindahkan sebuah bukit, maka hal itu tidaklah lebih berat bagiku daripada mengumpulkan Al-Qur'an yang engkau perintahkan itu". Dan ia berkata selanjutnya kepada Abu Bakar dan Umar: "Mengapa kalian melakukan sesuatu yang tidak diperbuat oleh Nabi?" Abu Bakar menjawab: "Demi Allah! Ini adalah perbuatan yang baik". Ia lalu memberikan alasan-alasan kebiakan mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an itu, sehingga membukakan hati Zaid, kemudian ia mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an dari daun, pelepah kurma, batu, tanah keras, tulang unta ayau kambing dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al-Qur'an. Dalam usaha mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an itu Zaid bin Tsabit bekerja amat teliti. Sekalipun beliau hafal Al-Qur'an seluruhnya, tetapi untuk kepentingan pengumpulan Al-Qur'an yang sangat penting bagi umat Islam itu, masih memandang perlu mencocokkan hafalan atau catatan sahabat-sahabat yang lain dengan disaksikan oleh dua orang saksi.
            Dengan demikian Al-Qur'an seluruhnya telah ditulis oleh Zaid bin Tsabit dalam lembaran-lembaran yang diikat dengan benar, tersusun menurut urutan ayat-ayatnya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, kemudian diserahkan kepada Abu Bakar. Mushaf ini tetap di tangan Abu Bakar sampai beliau wafat, kemudian dipindahkan ke rumah Umar bin Khatab dan tetap di sana selama pemerintahannya. Setelah beliau wafat, Mushaf itu dipindahkan ke rumah Hafsah, puteri Umar, istri Rasulullah sampai masa pengumpulan dan penyusunan Al-Qur'an di masa Khalifah Utsman.

Membukukan Al-Qur'an di masa Utsman r.a.

Di masa Khalifah Utsman bin Affan, pemerintahan mereka telah sampai ke Armenia dan Azarbaiyan di sebelah timur dan Tripoli di sebelah barat. Dengan demikian kelihatanlah bahwa kaum muslimin di waktu itu telah terpencar-pencar di Mesir, Syirtia, Irak, Persia dan Afrika. Kemanapun mereka pergi dan mereka tinggal, Al-Qur'an itu tetap menjadi Imam mereka, diantara mereka banyak yang menghafal Al-Qur'an itu. Pada mereka terdapat naskah-naskah Al-Qur'an, tetapi naskah-naskah yang mereka punya itu tidak sama susunan surat-suratnya. Terdapat juga perbedaan tentang bacaan Al-Qur'an tersebut. Asal mulanya perbedaan tersebut adalah karena Rasulullah sendiripun memberikan kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab yang berada di masanya untuk membaca dan melafazkan Al-Qur'an itu menurut dialek mereka masing-masing. Kelonggaran ini diberikan oleh Nabi supaya mereka menghafal Al-Qur'an. Tetapi kemudian terlihat tanda-tanda bahwa perbedaan tentang bacaan tersebut bila dibiarkan akan mendatangkan perselisihan dan perpecahan yang tidak diinginkan dalam kalangan kaum Muslimin.
Orang yang pertama memperhatikan hal ini adalah seorang sahabat yang bernama Huzaifah bin Yaman. Ketika beliau ikut dalam pertempuran menaklukkan Armenia di Azerbaiyan, dalam perjalanan dia pernah mendengan pertikaian kaum Muslimin tentang bacaan beberapa ayat Al-Qur'an, dan pernah mendengan perkataan seorang Muslim kepada temannya: "Bacaan saya lebih baik dari bacaanmu".

Keadaan ini mengagetkannya, maka pada waktu dia telah kembali ke Madinah, segera ditemuinya Utsman bin Affan, dan kepada beliau diceritakannya apa yang dilihatnya mengenai pertikaian kaum Muslimin tentang bacaan Al-Qur'an itu seraya berkata: "Susullah umat Islam itu sebelum mereka berselisih tentang Al-Kitab, sebagai perselisihan Yahudi dan Nasara(Nasrani)".

Maka Khalifah Utsman bin Affan meminta Hafsah binti Umar lembaran-lembaran Al-Qur'an yang ditulis di masa Khalifah Abu Bakar yang di simpan olehnya untuk disalin.
Al-Qur'an yang telah dibukukan itu dinamai dengan "Al-Mushhaf", dan oleh panitia ditulis lima buah Al Mushhaf, Empat buah diantaranya dikirim ke Mekah, Syiria, Basrah dan Kufah, agar di tempat-tempat tersebut disalin pula dari masing-masing Mushhaf itu, dan satu buah ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai dengan "Mushhaf Al Imam". Setelah itu Utsman memerintahkan mengumpulkan semua lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur'an yang ditulis sebelum itu dan membakarnya. Maka dari Mushhaf yang ditulis di zaman Utsman itulah kaum Muslimin di seluruh pelosok menyalin Al-Qur'an itu. 
Dengan demikian, maka pembukuan Al-Qur'an di masa Utsman memiliki faedah diantaranya:
  1. Menyatukan kaum Muslimin pada satu macam Mushhaf yang seragam ejaan tulisannya.
  2. Menyatukan bacaan, walaupun masih ada kelainan bacaan, tapi bacaan itu tidak berlawanan dengan ejaan Mushhaf-mushhaf Utsman. Sedangkan bacaan-bacaan yang tidak sesuai dengan ejaan Mushhaf-mushhaf Utsman tidak dibolehkan lagi.
  3. Menyatukan tertib susunan surat-surat, menurut tertib urut seperti pada Mushhaf-mushhaf sekarang.
Di samping itu Nabi Muhammad s.a.w. sangat menganjurkan agar para sahabat menghafal ayat-ayat Al-Qur'an. Karena itu banyak sahabat-sahabat yang menghafalnya baik satu surat, ataupun seluruhnya. Kemudian di zaman tabi'ien, tabi'it, tabi'ien dan selanjutnya usaha-usaha menghafal Al-Qur'an ini dianjurkan dan diberi dorongan oleh para Khalifah sendiri. 
Pada zaman sekarang di Mesir, di sekolah-sekolah Awaliyah diwajibkan untuk menghafal Al-Qur'an bila mereka ingin menamatkan pelajaran sekolah awaliyah dan hendak meneruskan pelajarannya ke sekolah-sekolah mualimin, begitu juga di pesantren-pesantren di Indonesia, sehingga Al-Qur'an dapat dihafal oleh jutaan umat Islam di seluruh dunia. Dengan demikian terbuiktilah firman Allah:
 "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya"
( Surat (15) Al Hijr Ayat 9

Metodologi penafsiran al-qur’an
A.    Metode tafsir al-qur’an
Secara umum ada dua metode tafsir dalam Islam. Pertama, tafsir bir riwayah dan  Tafsir birra'yi. 
1.Tafsir birriwayah .
Maksudnya adalah tafsir yang dalam memahami kandungan ayat al-Qur'an lebih menitikberatkan pada ayat al-Qur'an dan riwayat hadis. Isi tafsir dengan metode ini penuh dengan riwayat hadis dan jarang sekali pengarang tafsir tsb menaruh pemikirannya. Tafsir at-Thabari misalnya dianggap mewakili corak penafsiran model ini.
Yang paling baik dari tafsir jenis ini adalah mufassir yang menggunakan ayat qur'an untuk menafsirkan ayat Qur'an yang lain. Atau dalam ungkapan bahasa arab disebut "Al-Qur'an yufassiruhu ba'dhuhu ba'dhan" (al-Qur'an itu menafsirkan sebagian ayatnya dengan sebagian ayat yang lain).
Dari model tafsir bir riwayat dikelompokkan lagi dua macam bentuk penafsirannya.
1.      tafsir at-tahlili, artinya mufassir (ahli tafsir) memulai kitab tafsirnya dari al-Fatihah sampai surat an-nas. Ia uraikan tafsirnya menurut urutan surat dalam al-Qur'an. Semua kitab tafsir klasik mengikuti model ini.
2.      Tafsir maudhu'i (tematis), artinya mufassir tidak memulai dari surat pertama sampai surat ke-114, melainkan memilih satu tema dalam al-Qur'an untuk kemudian menghimpun seluruh ayat Qur'an yang berkaitan dengan tema tersebut baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut. Ambil contoh, kita ingin tahu apa makna Islam dalam al-Qur'an. Maka kita himpun semua ayat yang berisikan kata Islam (dan segala derivasinya) lalu kita tafsirkan. Jadi, tafsir model ini bersifat tematis. Konon metode seperti ini dimulai oleh Muhammad al-Biqa'i. Dari kalangan Syi'ah yang menganjurkan metode model ini adalah Muhammad Baqir as-Shadr. Pak Quraish Shihab adalah ahli tafsir Indonesia yang pertama kali memperkenalkan metode ini dalam tulisan-tulisannya di tanah air. Bukunya Wawasan al-Qur'an berisikan tema-tema penting dalam al-Qur'an yg dibahas dengan metode maudhu'i ini. 
2.Tafsir bir ra'yi. 
Dari namanya saja terlihat jelas bahwa tafsir model ini kebalikan dengan tafsir bir riwayah. Ia lebih menitikberatkan pada pemahaman akal (ra'yu) dalam memahami kandungan nash. Tetap saja ia memakai ayat dan hadis namun porsinya lebih pada akal. Contoh tafsir model ini adalah Tafsir al-kasysyaf karya Zamakhsyari dari kalangan Mu'tazilah, tafsir Fakh ar-Razi, Tafsir al-Manar.
Kalau mau dipilah lagi maka tafsir model ini bisa dibagi kedalam:
a.                           tafsir bil 'ilmi (seperti menafsirkan fenemona alam dengan kemudian merujuk ayat Qur'an)
b.                           tafsir falsafi (menggunakan pisau filsafat utk membedah ayat Qur'an)
c.                           Tafsir sastra. Lebih menekankan aspek sastra dari ayat al-Qur'an. Model tafsir ini pada masa sekarang dikembangkan oleh Aisyah Abdurrahman (dia perempuan lho) atau terkenal dengan nama Bintusy Syathi. Alhamdulillah karya Bintusy Syathi ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia


B.Perkembangan tafsir dari masa ke masa
I . TAFSIR AL-QURAN PADA MASA  RASULULLAH  DAN  SAHABAT.
Disamping rasulullah adalah satu-satunya tokoh yang dapat memahami alquran secara kesluruhan, beliau juga mengemban tugas untuk menjelaskan tiap hal yang terkandung dalam alquran.
Demikian pula yan terjadi dalam dikalangan sahabat, mereka dapat memahami alquran sebagaimana rasulullah kecuali hal-hal yang sangat detail, Ibnu Khaldun mengungkapkan:” Alquran diturunkan dalam bahasa arab dan gaya bahasa orang arab, oleh karena itu seluruh sahabat nabi dapat memahaminya, hanya saja tingkat pemahaman mereka berbeda-beda”. Ibnu Qutaibah bekata: “orang-orang arab tidak sama tingkat pemahamannya pada lafadz-lafadz gharib dan mutasyabih yang terdapat dalam Al quran, sebagian dari mereka melebihi yang lain” .
Pada masa penafsiran Al quran yang pertama ini para sahabat berpegang pada tiga hal dalam menafsiriAl quran:
1. Al quran.
Memang dalam satu bagian Al quran terdapat ayat yang bersifat mujmal, akan tetapi pada bagian yang lain ditemukan ayat yang bersifat mubayyan , atau suatu ayat diturunkan dalam bentuk mutlaq atau ‘am kemudian diturunkan ayat lain yang berbentuk muqayyad atau mukhassis, dengan adanya macam-macam sifat dari ayat yang diturunkan dalam Al quran tersebut para sahabat menggunakan satu ayat untuk memahami ayat yang lain. Metode penafsiran ini disebut dengan metode penafsiran Al quran dengan Al quran.
2. Rasulullah
Ketika para sahabat mendapat kesulitan dalam memahami isi dari suatu ayat Al quran, maka mereka akan mendatangi Nabi Muhammad SAW untuk mendapatkan penjelasan dari beliau. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, beliau berkata: “ ketika diturunkannya ayat
الذين أمنوا ولم يلبسوا ايمانهم بظلم....الأية
“…yaitu orang-orang yang beriman dan tidak mencampur aduk iman mereka dengan perbuatan dzalim…” , para sahabat merasa sangat terbebani dan kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan keterangan yang ada dalam ayat tersebut, kemudian mereka bertanya kepada Nabi SAW: “siapakah daintara kami yang tidak mendzalimi dirinya sendiri?, Nabi menjawab: bukanlah pengertian dari ayat tersebut seperti yang kalian maksudkan, bukankah kalian pernah mendengar perkataan seorang hamba yang shalih (luqman as.):
ان الشرك لظلم عظيم
sesunguhnya yang dimaksud الظلم adalah perbuatan syirik”. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Adakalanya Rasulullah juga memberi penjelasan suatu ayat tanpa didahului oleh pertanyaan para sahabat, seperti yang diceritakan dari sahabat Uqbah bin ‘amir ra.
سمعت رسول الله صتى الله عليه وسلم يقول وهو على المنبر: وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة, ألآ وان القوة الرمى.
“ aku (Uqbah bin ‘amir) pernah mendengar Rasulullah bersabda diatas mimbar: persiapkanlah diri kalian (sahabat) untuk menghadapi mereka (orang-orang kafir) dengan kekuatan yang kalian mampu/kuasai, dan ingatlah bahwa kekuatan itu adalah memanah”

3. Ijtihad
Apabila tidak ditemukan penjelasan tentang suatu ayat , baik dalam Al quran maupun dari keterangan Nabi, maka para sahabat dengan kemampuan mereka sebagai orang arab yang dapat dipastikan mengerti serta memahami bahasa arab dari segala sisinya, berijtihaduntuk memahami maksud dari ayat tersebut. Beberapa sahabat yang dikenal sebagai mufassir adalah: Abu Bakar as Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al Asyari, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdillah, Abdullah bin Umar bin Ash dan Sayyidah Aisyah.
Jumhur ulama berpendapat bahwa tafsir bil ma’tsur oleh sahabat ini mencapai derajat marfu’ apabila mempunyai tendensi asbabun nuzul atau penafsiran tersebut termasuk dalam liangkup bahasan hal-hal yang tidak tidak bisa ditelusuri secara rasio. Dan apabila penafsiran tersebut tentang hal-hal yang bisa dinalar dan tidak disandarkan kepada Nabi, maka hukum tafsiran sahabat tersebut adalah mauquf.

Akan tetapi sebagian ulama’ berpendapat “ meskipun tafsir sahabat termasuk dalam peringkat mauquf, penafsiran tersebut harus kita terima, karena para sahabaat adalah orang-orang yang ahli dalam bahasa arab sehingga sangat menunjang terhadap terbentuknya pemahaman yang benar pada Al quran, dan mereka mengetahui dengan pasti situasi serta kondisi yang berhubungan dengan suatu ayat ketika diturunkan”.
Dalam kitab Al Burhan, Az Zarkasyi berkata: “ketahuilah bahwa penafsiran Al quran terbagi menjadi dua macam, adakalanya berdasarkan riwayat hadist Nabi atau sahabat dan adakalanya tidak berdasarkan riwayat hadist. Pada macam tafsir yang pertama bisa jadi penafsiran tersebut datang dari penjelasan Rasulullah atau dari keterangan yang diberikan oleh sahabat atau para pembesar tabiin, untuk penafsiran yang datangnya dari Nabi SAW, kita tinggal memeriksa kesahihan sanadnya, sedangkan untuk penafsiran yang datang dari sahabat, kita harus memeriksa ulang penafsiran tersebut dalam kitab-kitab yang memuat penfsiran-penafsiran sahabat. Jika mereka menafsiri Al quran dari segi bahasa, maka tidak diragukan lagi kemampuan mereka dalam hal itu, dan selanjutnya kita bisa menggunakannya sebagai pegangan, begitu pula tentang penafsiran suatu ayat yang asbabun nuzul dan qarinah-qarinah yang berhubungan dengan ayat tersebut diketahui oleh para sahabat”. Ibnu Katsir dalam pembukaan tafsirnya mengatakan: “Pada saat ini, jika kita tidak menemukan penafsiran oleh Alquran atau sunnah Rasullullah, maka kita harus kembali kepada aqwal sahabat ,karena mereka menyaksikan secara langsung situasi dan kondisi yang berlangsung pada saat diturunkannya suatu ayat, serta mereka mempunyai pemahaman yang sempurna, juga ilmu dan amal yang shalih, apalagi para pembesar mereka seperti, Khulafaurrasyidin, Imam Arba’ah dan Ibnu Mas’ud”. Dalam masa yang pertama ini belum ada sama sekali pembukuan terhadap tafsir, dan tafsir masih menjadi salah satu bagian dari bahasan hadits, oleh karena itu tafsir-tafsir ayat Al quran yang sudah ada masih tersebar dalam beberapa hadits dan belum mencakup seluruh ayat Al quran.
II.Perkembangan dan Penafsiran pada Masa Tabi’in
Setelah kepemimpinan khulafatur Rosyidin berakhir, masa pemerintahan kemudian dipegang oleh generasi berikuynya yaitu generasi Tabi’in yang tentunya segala urusan yang terjadi pada masa sahabat berganti alih kepada masa Tabi’in. Begitu juga mengenai hal ilmu-ilmu yang telah berkembang pada masa itu yang tentunya diteruskan oleh para Tabi’in sesuai dengan bidangnya masing-masing. Khususnya juga dalam hal ilmu tafsir yang akan dibahas pada makalah ini. Dalam hal penafsiran yang pada masa ke masa telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini dikarenakan penafsiran pada masa sahabat diterima baik oleh para ulama dari kaum Tabi’in di berbagai daerah kawasan Islam. Dan pada akhirnya mulai muncul kelompok-kelompok ahli tafsir di Makkah, Madinah, dan di daerah lainnya yang merupakan tempat penyebaran agama Islam pada masa Tabi’in. Masa ini terjadi kira-kira dari tahun 100 H/723 M-181 H/812 M yang ditandai dengan wafatnya Tabi’in terakhir, yaitu Khalaf bin Khulaifat (w.181 H), sedangkan generasi Tabi’in berakhir pada tahun 200 H. Yang mengetahui secara pasti soal tafsir ialah orang-orang Makkah, karena mereka itu kebanyakan ada kedekatan persahabatan kepda ahli tafsir sebelumnya, sehingga memudahkan mereka dalam memahami tafsir, seperti : Mujahid, ‘Atha bin Rayyah, Ikrimah maula Ibn Abbas, Said bin Jubair, dan lain-lain.Namun tidak menutup kemungkinan pada waktu itu para ahli tafsir berasal dari kota tersebut, seperti halnya Abdullah bin Mas’ud yang berasal dari Iraq, Zaid bin Aslam dan Abdurrahman bin Zaid yang berasal dari Madinah. 

1. Tokoh-tokoh Ahli Tafsir pada masa Tabi’in
 
Seperti halnya pada masa sahabat telah ada para ahli tafsir seperti, empat kholifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, dan lainnya, begitu juga pada masa Tabi’in. Banyak dari mereka yang menjadi ahli tafsir. Di bawah ini mereka Tabi’in yang ahli tafsir al-qur’an yang tentunya telah begitu besar pengorbanannya dalam mengembangkan ilmu tafsir pada saat itu, mereka adalah :
Ø Muhammad bin Ka’ab
Ø Abil ‘Aliyah
Ø Hasan Bashr
Ø Qatadah
Ø Al Rabi’in Anas
Ø Ad Dhahhak bin Muzaahim,
Ø Imam Abu Malik
Ø Dan lain-lain
Mereka itulah para ulama ahli tafsir di masa sesudah para shabat Nabi Muhammad saw dan mereka itulah oleh para ulama Islam dikenal sebagai para tafsir yang terdahulu dan menjadi bahan rujukan pada masa-masa selanjutnya. 
2. Sumber Tafsir masa Tabi’in
Dalam mempelajari Al-Qur’an dan memahami maksud yang terkandung di dalam ayat-ayatnya serta tafsirnya, para Tabi’in berlandaskan pada ayat Al-Qur’an, hadits-hadits yang diriwayatkan Nabi saw, dan tafsir yang diberikan oleh para sahabat Nabi saw serta cerita-cerita dari para ahli kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. Di samping itu mereka berijtihad atau menggunakan pertimbangan naluri, baik bersandaran pada kaidah-kaidah bahasa Arab maupun ilmu-ilmu pengetahuan lain sebagaimana yang telah dianugerahkan oleh Allah swt. 
Secara umum kitab-kitab tafsir menginformasikan bahwa pendapat-pendapat Tabi’in tentang tafsir yang mereka hasilkan melalui penalaran dan ijtihad yang independen. Artinya, penafsiran mereka ini sedikitpun tidak berasal dari Rosulullah atau dari Sahabat. Pada pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa tafsir yang dinukil dari Rosulullah saw dan para Sahabat tidak mencakup semua ayat Al-Qur’an. Mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi orang-orang yang semasa dengan mereka. Kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara bertahap disaat manusia bertambah jauh dari masa Nabi Muhammad saw dan Sahabat. Maka para Tabi’in yang menekuni bidang tafsir perlu untuk menyempurnakan sebagian kekurangan itu. Hal ini juga terjadi pada masa-masa selanjutnya. Untuk menyempurnakan penafsiran sebelumnya mereka mengandalkan pada pengetahuan mereka dengan cara dalam bahasa Arab maupun cara bertutur kata, dan juga peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya Al-Qur’an yang mereka pandang belum valid.
Dengan demikian, sumber-sumber penafsiran pada zaman Tabi’in meliputi 5 sumber, yaitu
Ø Al-Qur’an
Ø Hadits-hadits Nabi Muhammad saw
Ø Tafsir dari para Sahabat
Ø Cerita-cerita dari para ahli kitab
Ø Ra’yu dan ijtihad 
Dilihat dari sumber-sumbernya tersebut tafsir pada masa Tabi’in umumnya berbentuk al-matsur, seperti halnya pada masa Sahabat. Jika dilihat dari sudut cara penafsiran secara umum tafsitan mereka menggunakan metode ijmali. Metode ini agak lebih luas jika dibandingkan dengan tafsir pada masa Sahabat yang menggunakan metode tahlili. Sehingga pada masa ini mulai ada perbedaan antara penafsiran masa Sahabat dan masa Tabi’in yang kemudian diikuti dengan adanya tafsir bil ra’yi.

3. Pusat-pusat Pengajian Tafsir Pada Masa Tabi’in
Negara Islam pada masa ini telah membentang luas dari Negeri Cina di Timur sampai Utara Spayol di Barat. Atau hampir sepertiga luas peta Bumi kita ini. Oleh karena itu para Sahabat dan Tabi’in serta Tabi’it Tabi’in tidak menetap pada suatu daerah saja. Di daerah itu sebagian dari mereka ada yang menjadi guru, hskim, dan sebagainya. Mereka dating dengan membawa ilmu pengetahuandan keahlian masing-masing, terutama hadits-hadits dan tafsir yang mereka terima dari Nabi Muhammad saw.  Dari tangan Tabi’in inilah, murid mereka itu belajar dan menimba ilmu, sehingga selanjutnya timbulah berbgai madzhab dan perguruan tafsir pada masa selanjutnya. Beriring meningkatnya kebutuhan akan tafsir pada masa itu, maka para ulama membuat sebuah sekolah-sekolah tafsir bagi semua kalangan, baik non Arab maupun dari Arab itu sendiri. Hal ini dilakukan karena kedekatan mereka dengan sumbber risalah dan pelita kenabian. Di samping itu juga mereka telah semakin jauh dari masa itu sehingga kebutuhan mereka akan tafsir meningkat. Karena semakin banyaknya penuntut ilmu, kemudian berdirilah pusat kajian Islam seperti madrasah diniyyah yang mengajarkan tafsir Al-Qur’an. Pusat kajian tersebut diantaranya :
a. Di Makkah pusat kajian dipimpin oleh sahabat Abdullah bin Abbas (w. 63 H). Timbulnya madrasah ini dari Ibnu Abbas sebagai guru diMekah mengajarkan tafsir al-Quran kepada para tabi’in dan menjelaskan hal yang musykil dari makna lafadz al-Quran, kemudian oleh tabi’in menambahkan pemahamannya sendiri kemudian titafsirkan ke generasi berikutnya. Keistimewaan madrasah ini antara lain; (1) dalam hal qira’at, madarasah ini menggunakan qiroat yang berbeda-beda, (2) Metode penafsirannya menggunakan dasar aqliy. Murid-murid beliau diantaranya, Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibn Abbas, Thawus bin Kasan al Yamani, Atha’ bin Rabah. 
b. Di Madinah pusat kajian dipimpin oleh Ubay bin Ka’ab yang banyak mengajarkan tafsir Al-Qur’an. Tokoh-tokohnya diantaranya, Zaid bin Aslam (w. 136 H), Abul Aliyah (w. 90 H), Muhammad bin Ka’ab (w. 118 H), kemudian kepada mereka bertiga inilah para Tabi’in yang lain dan Tabi’ut Tabi’in belajar tafsir. Munculnya madrasah ini berawal dari para sahabat yang menetap di Madinah melakukan tadarus berjamaah dalam al-Qurn dan Sunnah diikuti oleh tabi’in yang memfokuskan perhatiaannya kepada Ubay bin Ka’ab yang dinilai masyhur dalam menafsirkan al-Quran kemudian diteruskan ke generasi berikutnya. Keistimewaan madrasah ini antara lain; (1) telah ada sistem penulisan naskah dari Ubay bin Ka’ab lewat Abu Aliyah lewat Rabi’ oleh Abu Ja’far Ar Roziy dan juga Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan Al Hakim banyak meriwayatkan tafsir dari Ubay lewat Abu ‘Aliyah. (2) Telah berkembang ta’wil terhadap ayat-ayat al-Quran, sebagaimana diucapkan oleh Ibnu ‘Aun tentang penta’wilan Muhammad bin Ka’ab Al-Quradliy. (3) Penafsiran birro’yi telah digunakan. Terbukti Tokoh Zaid bin Aslam membolehkan penafsiran bir ro’yi namun bukan seperti madzhab bidiy pada period mutaakhiriin. 
c. Di Iraq pusat kajian dipimpin oleh Abdullah ibn Mas’ud. Meskipun di sana ada guru tafsir dari Sahabat-sahabat yang lain, Ibn Mas’ud lah yang dianggap sebagai guru tafsir pertama di Iraq dan di Kuffah. Madrasah ini timbul ketika Khalifah Umar menunjuk Ammar bin Jasin sebagai gubernur di Kufah, Ibnu Mas’ud saat itu ditunjuk sebagai guru atau mubaligh yang dalam penafsiran al-Qur’an banyak diikuti oleh tabi’in Iraq disamping kemasyhuran beliau juga karena tafsirnya banyak dinulkilkan kepada generasi selanjutnya. Madrasah ini juga memiliki keistimewaan dianaranya; (1) Semaikin banyak ahli ra’yi. (2) banyak masalah khilafiyah dalam penafsiran al-Quran diakibatkan warna ro’yi tersebut. (3) Timbullah metode istid-lal sebagai kelanjutan dari adanya khilafiyah penafsiran al-Qur’an. Ahli tafsir dari Tabi’in Iraq yang mempelajari tafsir dan termasuk murid-murid Ibn Mas’ud di antaranya, Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry’ dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy, Aqamah an Nahhi, Masruq Ibn Ajda al-Hamdani, dan lain-lain. 
Pada umumnya mereka para ahli tafsir dalam menyampaikan dan menafsirkan Al-Qur’an masih berpegang teguh pada periwayatan dan pembukuan. 
4. Ijtihad Tabi’in.
Periode ini terjadi kurang lebih abad II H-IV H, setelah berakhir masa Sahabat, muncul masa Tabi’in. Generasi Tabi’in ini terdiri atas murid-murid para Sahabat. Mereka mendasarkan pendapat mereka kepada pendapat para Sahabat. Secara garis besar , para Tabi’in melakukan ijtihad dengan 2 cara, yaitu :
a. Mereka mengutamakan pendapat seorang Sahabat dari pendapat Sahabat yang lain, bahkan kadang-kadang mengutamakan pendapat seorang Tabi’in dari pendapat seorang Sahabat. Hal ini jika pendapat yang diutamakan itu menurut ijtihad lebih dekat dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Mereka sendiri berijtihad, bahkan menurut mereka bahwa pembentukan hokum Islam sesungguhnya secara professional dimulai pada masa Tabi’in ini.
Kegiatan melakukan ijtihad pada masa ini semakin, setiap kota memiliki mujtahid yang menjadi panutan dan memberikan sumbangan pada perkembangan ijtihad di daerah bersangkutan. Di Makkah muncul seperti ‘Atha Ibn Abi Rabah, di Madinah muncul Sa’id bin Musayyah, Ikrimah bin Zubair, di Basrah muncul Muslim bin Yasir, Muhammad bin Sirin, dan lain-lain. Mengenai yang paling terkenal diantara para Tabi’in pada masa itu adalah Mujahid dan Sa’id Ibn Jubair. 
5. Ciri-ciri Tafsir Tabi’in dan Keistimewaannya
a. Ciri-ciri Tafsir Tabi’in
Ø Memuat banyak cerita Israiliyat. Hal ini disebabkan banyak ahli kitab yang masuk Islam, padahal mereka masih terikat oleh pemikiran lamayang tidak menyangkut soal hokum syariat.
Ø Terdapat kebiasaan menerima riwayat dari orang-orang tertentu atau yang hanya meriwayatkan tafsir dari orang yang disenangi, seperti Mujahid yang hanya meriwayatkan tafsir dari Ibn Abbas, demikian pula dengan ahli tafsir lainnya yng mengkhususkan gurunya tertentu.
Ø Mulai tumbuh benih-benih fanatisme madzhab sehingga sebagian tafsir Tabi’in ada yang cenderung mempertahankan pendapat ulama madzhabnya secara kelebihan. 

b. Keistimewaan Tafsir Tabi’in
Secara umum keistimewaan tafsir di masa tabiin diwarnai dengan 3 macam warna yang menjadi tolak ukur perbedaan dengan Tafsir lainnya, yaitu diantaranya:
a. Masuknya cerita israiliyat yang dibawa oleh ahli Kitab Yahudi dan Nasrani yang telah masuk Islam, 
b. Periwayatan terjadi antar tokoh madrasah tafsir di suatu kota dengan murid-muridnya
c. Terjadi perbedaan pendapat madzhabiyah yang timbul karena perbedaan pemahaman para tabi’in.
c. Kedudukan Tafsir Tabi’in
Mengenai kualitas daripada penafsiran pada masa Tabi’in, para ulama berbeda pendapat. Jika tafsir tersebut bersifat independen, tidak diriwayatkan dari Rosulullah saw atau para Sahabat, apakah pendapat mereka itu dapat dipegang atau tidak? Segolongan ulama berpendapat, bahwa penafsiran yang dihasilkan oleh para ahli tafsir Tabi’in tidak harus dijadikan pegangan, sebab mereka tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa, situasi atau kondisi yang berkenaan dengan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga mereka dapat saja berbuat salah dalam memahami apa yang dimaksud. Sebaliknya, banyak mufassir berpendapat tafsir mereka dapat dijadikan pegangan, sebab pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat. Pendapat yang kuat jika para Tabi’in sepakat atas suatu pendapat, maka bagi kita wajib menerimanya, tidak boleh meninggalkannya untuk mengambil jalur yang lain. Pada umumnya pada masa Tabi’in, tafsir tetap konsisten dengan metode pengajaran dan periwayatan, tetapi setelah banyak ahli kitab masuk Islam, para Tabi’in banyak menukil dari mereka cerita-cerita israillat yang kemudian dimasukan ke dalam tafsir, sehingga pada masa itu mulailah terjadi silang pendapat mengenai status tafsir yang diriwayatkan dari mereka karena banyaknya pendapat-pendapat mereka. Namun demikian pendapat-pendapat tersebut sebenarnya hanya bersifat keberagaman pendapat, berdekatan satu dengan yang lain. Dan perbedaan itu hanya dari sisi redaksional, bukan perbedaan yang bersifat kontradiktif. 

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
            Para ulama menyatakan penurunan al-Quran berlaku dalam dua bentuk iaitu secara sekaligus, dan berperingkat. Walau bagaimanapun mereka berselisih pendapat tentang berapa kali berlakunya penurunan al-Quran secara sekaligus. Terdapat tiga pandangan mengenai hal ini, iaitu :
  • Penurunan al-Quran dari Allah SWT ke al-Lauh al-Mahfuz;
  • Kali kedua, dari al-Lauh al-Mahfuz ke Bait al-‘Izzah di langit dunia; dan
  • Kali ketiga, penurunan kepada Jibril a.s. dalam tempoh 20 malam.
            Dalam mempelajari Al-Qur’an dan memahami maksud yang terkandung di dalam ayat-ayatnya serta tafsirnya, para Tabi’in berlandaskan pada ayat Al-Qur’an, hadits-hadits yang diriwayatkan Nabi saw, dan tafsir yang diberikan oleh para sahabat Nabi saw serta cerita-cerita dari para ahli kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. Di samping itu mereka berijtihad atau menggunakan pertimbangan naluri, baik bersandaran pada kaidah-kaidah bahasa Arab maupun ilmu-ilmu pengetahuan lain sebagaimana yang telah dianugerahkan oleh Allah swt. 








DAFTAR PUSTAKA
http//www.google.com